Profil dr. Sardjito, Dokter yang Juga Seorang Peneliti, Pendidik, Budayawan dan Negarawan

- 24 Desember 2020, 20:04 WIB
Prof. Dr. M. Sardjito / uii.ac.id/profil/sejarah/rektor
Prof. Dr. M. Sardjito / uii.ac.id/profil/sejarah/rektor /uii.ac.id/profil/sejarah/rektor

PORTAL PASURUAN - Mungkin selama ini, nama dr. Sardjito hanya dikenal sebagai nama rumah sakit di Yogyakarta. Padahal dr. Sardjito bukan hanya seorang dokter semata.

Beliau juga adalah seorang peneliti, pendidik, budayawan dan negarawan.

Sebagai seorang dokter, Sardjito tidak hanya memberikan pelayanan kesehatan masyarakat. Dia juga aktif melakukan riset penyakit-penyakit di negara tropis.

Sardjito pernah belajar di Leiden, Belanda tentang ilmu penyakit tropis dan ilmu tersebut dia terapkan di Indonesia.

 Baca Juga: KH Hasan Mutawakil Alallah Terpilih sebagai Ketua MUI Jawa Timur

Sardjito lahir di Desa Purwodadi, Magetan, Madiun, Jawa Timur pada 13 Agustus 1888.

Sardjito menyelesaikan pendidikan formalnya di Sekolah Belanda di Lumajang pada 1907.

Ayah dari Sardjito, Mohamad Sajid merupakan guru di Pemalang yang kemudian menjadi guru HIS di Bondowoso.

Sebagaimana kami kutip dari Biografi Prof. dr. M. Sardjito,Dokter dan Tokoh Bangsa yang Menyelamatkan Aset Pendidikan

Sardjito diterima di sekolah kedokteran STOVIA pada 1906 dan lulus pada 1915.

Setelah lulus dari STOVIA, Sardjito diangkat sebagai dokter pada dinas kesehatan kota (Burgerlijke Geneeskundige Dienst) di Batavia.

Saat bekerja di Batavia, Sardjito aktif dalam asosiasi para pemilih untuk dewan kota.

Riset pertama yang dikerjakan oleh Sardjito adalah mengenai influenza.

Riset tersebut dikerjakan selama satu tahun dari 1918-1919.

Baca Juga: Pemerintah Gratiskan Vaksin Covid-19, Inilah 4 Kategori yang Tidak Bisa Ikut Vaksinasi

Saat melakukan riset itu, Sardjito tengah bekerja di Pasteur Instituut di Batavia.

Melalui pekerjaannya di lembaga ini, Sardjito bisa mendapatkan jalan melanjutkan studi ke Belanda.

Sardjito kemudian berangkat ke Rotterdam pada 8 Desember 1920 dan melanjutkan pendidikannya di Universitas Amsterdam.

Pengalaman riset yang dimilikinya ketika bekerja di Pasteur Instituut membuat Sardjito bisa menyelesaikan pendidikan dan meraih gelar dokter dalam waktu satu semester.

Baca Juga: Pihak Penyelenggaran Olimpiade Tokyo 2020 Siapkan Dana Jutaan Dollar untuk Cegah Penularan Covid-19

Sardjito yang bersemangat untuk belajar kemudian mengajukan proposal studi agar bisa mengambil tingkat doktoral.

Studi yang dikembangkan oleh Sardjito berkaitan dengan penyakit tropis.

Pada tahun 1923, Sardjito lulus ujian tingkat doktoral dan berhasil meraih gelar doktor.

Sardjito berhasil mempertahankan disertasi di Universiteit Leiden dan menjadi orang Indonesia kedua yang meraih gelar doktor di bidang kedokteran.

Baca Juga: Pemerintah Gratiskan Vaksin Covid-19, Inilah 4 Kategori yang Tidak Bisa Ikut Vaksinasi

Sardjito merupakan sosok yang aktif di asosiasi perhimpunan mahasiswa Indonesia di Belanda.

Tak lama setelah kembali ke Indonesia, Sardjito mendapat kesempatan melakukan studi ke Universitas John Hopkins.

Di Universitas John Hopkins, Sardjito mempelajari mengenai hygiene dan lulus pada 1924 dengan meraih gelar Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat.

Pendidikan yang ditempuh oleh Sardjito mengantarkannya pada penemuan yang bermanfaat bagi masyarakat.

Baca Juga: Resep Kue Jahe 'Gingerbread Man', Cocok Dihidangkan untuk Keluarga saat Natal

Penemuan tersebut diantaranya adalah obat penyakit batu ginjal (Calcusol), serta obat penurun koleesterol (Calterol).

Sardjito juga menciptakan vaksin anti penyakit infeksi untuk Typus, Kolera, Disentri, Staflokoken dan Streptokoken.

Selain berperan sebagai dokter dan ilmuwan, Sardjito juga aktif dalam organisasi kemahasiswaan dan pernah menjadi ketua Budi Utomo Cabang Jakarta.

Ketika Belanda datang dengan membonceng sekutu pada saat Proklamasi 1945 dan menyerbu beberapa wilayah Indonesia, Sardjito berusaha menyelamatkan aset pendidikan yang dimiliki Indonesia.

Baca Juga: Glamour Kemping di Bandara Changi, Cara Lain Warga Singapura Isi Libur Natal dan Tahun Baru

Ia menyelundupkan aset pendidikan yang berupa buku tersebut dari Institut Pasteur ke Klaten dan Solo.

Pada saat perang kemerdekaan, Sardjito juga membantu menyediakan obat-obatan dan vitamin bagi prajurit dan membangun pos kesehatan untuk TNI di Yogyakarta dan sekitarnya.

Sardjito kemudian diangkat menjadi rektor Universitas Gadjah Mada pada 1949.

Baca Juga: Inilah 10 Ucapan Selamat Natal yang Berkesan, Bisa Dibagikan di Media Sosial

Pada usia 80 tahun, Sardjito wafat ketika menjabat sebagai rektor Universitas Islam Indonesia (UII) pada 5 Mei 1970.

Pengabdian dan jasa yang diberikan oleh Sardjito kemudian diabadikan menjadi nama Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Dr. Sardjito di Yogyakarta.(Inka Amaliyah)***

Editor: Elita Sitorini

Sumber: Kabar Lumajang


Tags

Artikel Rekomendasi

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x